Rabu, 07 Mei 2008

Surat Cinta untuk Orang Tua

Bogor, 19 Desember 2006

Dengan penuh cinta dan keikhlasan,

Mengenang masa indah saat masa kecil, semua tentang Mama dan aku. Mama mengajarkan ku banyak hal. Mencintai, menyayangi, dan mengasihi.

Saat itu, pastinya sangat berat. Saat aku berada si dalam rahimmu. Saat kau melahirkanku. Pastinya sulit hingga tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Darah keluar dari rahimmu, bersama dengan diriku yang lemah. Tapi aku tahu, Mama begitu senang melihat aku lahir, hingga lupa akan kesakitan saat melahirkanku. Saat aku disusui, diajarkan jalan, berbicara, membaca, dan berhitung. Dulu aku termasuk anak yang cerewet dan sok tahu. Nakal luar biasa dan membuat Mama jengkel. Tapi sungguh, walaupun demikian aku selalu merindukan harum badan Mama. Harus ada di sampingku!

Beranjak dewasa, aku semakin menyusahkan. Walaupun tidak pernah bercerita mengenai kenakalanku, tapi sungguh aku anak yang nakal di luar rumah. Di dalam rumah pun tak kalah nakalnya. Aku sering membentak Mama. Hingga suatu hari, untuk kesekian kalinya, aku melihat Mama menangis. Awalnya, aku tak peduli. Ego ku mendominasi. Tapi lama-kelamaan, hatiku terhenyuh. Aku minta maaf. Aku ini orang yang keras dan tidak tahu diri. Aku selalu merasa benar. Maafkan aku ya Ma, kini aku telah mengerti bahwa ‘surga itu berada di bawah telapak kaki ibu’.

Pencarian jati diri pun berlangsung. SMA aku mulai menngenal Islam lebih jauh. Hingga saat aku kuliah, aku dapat merasakan perihnya memperjuangkan agama Allah swt. Aku tertampar dengan kedudukan seorang anak yang berbakti kepada orangtuanya. Balasannya surga. Idealisme ku mengatakan tidak ingin masuk surga sendirian. Kalau bisa aku mengajak orangtuaku ke surga. Ma, sungguh. Kelelahan ini, kesakitan ini semua untuk memperjuangkan idealisme itu. Jika Desie syahid dalam da’wah, Desie akan mengajak Mama untuk masuk surga beserta Ayah dan saudara-saudara yang lain.

Jika Desie mati, jangan tangisi kepergianku. InsyaAllah Desie akan berusaha untuk mendapatkan surga. Jika Mama atau Ayah yang lebih dahulu pergi. Aku akan mendoakan kalian selalu. Semoga Allah swt memberikan umur yang berkah untuk Mama dan Ayah. Semoga Mama mendapatkan kebahagiaan di dunia hingga akhirat, mendaptkan cinta Allah swt, mendapatkan ridho Allah swt, hingga tidak menginginkan apapun selain bahagia di sisi Allah swt.

Mama, walaupun aku belum menjadi apa-apa, tapi pasti Desie ingin membahagiakan Mama. Walau dengan waktu luang yang sedikit. InsyaAllah, Desie tetap memperhatikan dan mencintai Mama. Walau raga tak bertemu. InsyaAllah doa-doa yang Desie panjatkan kepada Yang Maha Mengetahui akan lebih cepat sampai daripada raga Desie yang berada di sini.

Terima kasih atas cinta, kasih sayang, nasihat, bimbingan, usaha dan kerja keras Mama. Semua hal itulah yang membuat Desie bisa menjadi Desie yang sekarang. Semoga Allah swt meridhoi cinta kita, dan mempertemukan kita di surga yang kekal abadi. Aamiin.

Desie

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ibu....
Betapa luas lautan hatimu
Tempat cintaku kan berlabuh
Menuju ridha-Nya

Sebuah refleksi diri. Aku memang tidak sampe membentak, justru di rumah meski sebagai putra bontot, aku menjadi tempat curahan mamak, bisa dibilang jadi 'bemper' kalo mamak lagi marah atau kesel sama Ayah, atau saudara perempuanku.

Sering kali kupingku di jewer, atau hidungku dipencet sampe merah luar biasa, aku cume cengengesan nahan sakit. Kadang dia marah-marah ke aku, sambil cerita tentang sikap atau sifat saudara perempuanku dan ayah yang bikin dia kesel. Atau tambahin kekesalannya dengan kata-kata "kenapa aku sering pulang malam terus sih, minggu ada acara terus, baksos lah, ngaji lah, nginep lah [mabit]. Aku cuma diem sambil terus dengarin omelannya.

Setelah dia puas, baru dech aku lendotin dia, taruh kepala dibahunya, peluk, hihihi sampe cium pipinya. Dan terakhir cuma ngomong "Sudah enakan mak???" sambil nyengir kuda menatap wajah mamak yang sembab kemerah-merahan dihiasi air bekas nangis.

Pikirku, "Dasar perempuan, emosional banget sih. Mbo kalo kesel langsung diomelin aja ke yang bersangkutan kek. Kalo perlu, jitak kek! atau jewer dan pencet hidung seperti terhadap ku kek!"

Tapi nggak apa-apa sich, aku justru seneng. Semua keluargaku bersikap seperti itu ke aku, cuma ayah yang agak pendiem. Tapi aku juga kadang-kadang sok manja ke dia, meski ragu dan malu luar biasa. Tapi bodo akh, kapan lagi bisa bercengkrama kalau bukan pada waktu sisa yang kupunya buat mereka.

Semoga Allah memberiku kesempatan memuaskan dahaga kebahagiaan mereka sampai ajal memisahkan.